Kamariah, 70 tahun, penjual sayur di pelataran/emperan Pasar Terpadu Pante Teungoh Sigli, Pidie. (sinarpidie.co/Candra Saymima).

Perlakuan berbeda Pemkab Pidie pada pedagang kaki lima di emperan pasar dengan perlakuan pada pedagang grosir penyewa tanah dan ruko Pemkab Pidie.

ACEH ONLINE, Pidie Kamariah, 70 tahun, warga Gampong Langgieng, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya, merupakan salah seorang pedagang sayur-sayuran seperti daun umbi, terong, dan kangkung, di Pasar Terpadu Pante Teungoh, Sigli. Setiap harinya, ia berangkat dari Langgieng ke Pasar Lueng Putu menggunakan jasa ojek dengan ongkos Rp 5.000. Dari Pasar Leung Putu ke Pasar Pante Teungoh, ia menumpangi angkutan umum labi-labi dengan ongkos Rp 15.000.

Sebelum pergi ke Pasar Pante Teungoh Sigli, ia berbelanja sejumlah barang dagangannya di Pasar Pagi Leung Putu pada pengepul. Alasannya memilih berdagang di Pasar Pante Teungoh Sigli, karena di Pasar Pagi Leung Putu, pedagang yang menjajakan dagangan serupa sudah ramai dan lapak telah penuh.

“Sejak jam 03.00 WIB pagi saya sudah bangun untuk menyiapkan segala kebutuhan berjualan. Jam 06.00 WIB saya sudah sampai di Pasar Pante Teungoh Sigli,” kata Kamariah, saat ditemui sinarpidie.co di Pasar Pante Teungoh, Sigli, Kamis 31 Oktober 2019.

Kata dia, dalam sehari, dirinya mendapatkan keuntungan bersih dari hasil dagangannya sebesar Rp 40.000. “Kalau dagangan habis, Alhamdulillah cukup. Tapi kalau ada yang tersisa, ya, rugi, karena sayur-mayur yang dijual itu rata-rata tidak bisa disimpan lebih dari sehari  dan tidak dapat dijual lagi keesokan harinya,”  kata kamariah lagi.

Di Pasar Pante Teungoh Sigli, lapak tempat ia berjualan sayur seukuran 1 x 1 meter. Lapak tersebut dikutip biaya retribusi sebesar Rp 2.000 per hari .

Struktur dan besaran tarif retribusi bagi penjual sayur yang secara tetap menggunakan ruang atau tempat tertentu (pelataran) di kompleks pasar dan sebagainya tiap meter berdasarkan Qanun Kabupaten Pidie Nomor  22  tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Pasar Rp 1000 per meter per hari.

Retribusi pelayanan pasar masuk ke dalam kelompok retribusi jasa umum (dalam Pendapatan Asli Daerah). Tiap tahun, dengan dugaan pengutipan retribusi di atas tarif yang ditetapkan dalam qanun, para penjual sayur, penjual nasi, penjual kue, penjual ikan tanpa meja, dan sejumlah pedagang kaki lima di pelataran pasar menyumbang PAD rata-rata Rp 1 miliar per tahun.

Pada tahun 2019, Dinas Perdagangan dan Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Disperindagkop-UKM) Pidie menargetkan retribusi pelayanan pasar Rp 1,8 miliar.

Hal ini kontras dengan target retribusi pada pasar grosir dan pertokoan sebesar Rp 707 juta. Dan ironisnya, setiap tahun, rata-rata PAD dari retribusi pasar grosir dan pertokoan yang masuk dalam kelompok retribusi jasa usaha hanya Rp 350 jutaan per tahun.

Bias kelas sosial, pedagang kaki lima dengan pedagang grosir yang menyewa ruko dan tanah milik Pemkab Pidie, sangat kentara dalam kebijakan semacam ini.

Celakanya, Qanun Kabupaten Pidie Nomor 27 Tahun 2011 tentang Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan hanya mengatur tentang besaran tarif retribusi pasar berdasarkan tanah Pemkab Pidie yang disewakan secara tahunan dan dipungut sewa secara tahunan tiap meter. Dengan kata lain, qanun tersebut sama sekali tidak merinci dan mengatur ketentuan sewa-menyewa bangunan (struktur dan luasan bangunan) berupa fasilitas pasar yang disediakan pemerintah.

Kendati tak memiliki dasar hukum yang jelas, pengutan liar diduga dilakukan tiap tahun pada para penyewa ruko, kios, dan pasar rakyat dan diduga pungutan tersebut tak masuk ke dalam pendapatan asli daerah (PAD) karena tak menjadi dasar dalam perhitungan dan penetapan target retribusi.

“Dasar penetapan retribusi sewa ruko dan sewa kios yang sudah diambil oleh petugas Disperindagkop tersebut tidak ada dasar hukum penetapan harga. Karena dalam qanun tidak ditetapkan harga ruko dan kios, hanya diatur soal retribusi sewa tanah. Penetapan harga sewa berdasarkan harga pasar,” kata Kepala Bidang Pasar pada Disperindagkop dan UKM Pidie, Husaini pada sinarpidie.co, Rabu, 30 Oktober 2019.

Lebih celaka lagi, tunggakan pendapatan retribusi daerah atau piutang retribusi pada pihak ketiga untuk sewa tanah Pemkab Pidie dengan Disperindagkop dan UKM Pidie sebagai pengguna barang/aset, terhitung sejak 2016 hingga 2017 mencapai Rp 1,4 miliar, pada 2016 Rp 659.696.900 dan 2017 Rp 777.590.700. Selanjutnya, tunggakan pendapatan dari sewa toko pada penyewa juga mencapai ratusan juga.

Penjual sayur seperti Kamariah dan lainnya tentu tak menyadari, bahwa mereka ikut menyumbang PAD dalam APBK Pidie yang rata-rata Rp 2 triliun per tahun di mana Rp 1,2 triliun atau Rp 1,3 triliun di antaranya digelontorkan untuk belanja operasional pegawai: belanja pegawai sekira Rp 700 miliar dan belanja barang dan jasa (seperti belanja bahan pakai habis, belanja cetak dan penggandaan, makan dan minum, belanja perjalanan dinas, dsb) untuk pegawai sekira Rp 400 miliar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here